Wednesday, May 1, 2013

Nestapa Perempuan dan Anak


Oleh
Gia Juniar Nur Wahidah

Tuntutan kehidupan di kota besar yang begitu ketat kompetisinya, menuntut manusia-manusia kota untuk berlomba satu sama lain untuk menghidupi dirinya. Maka dalam hal ini kita akan berbicara tentang ekonomi. Perputaran uang yang begitu cepat di kota besar membawa magnet tersendiri bagi sebagian masyarakat pinggir kota, sehingga muncul dan semakin tinggilah arus urbanisasi. Ditambah pula pembangunan yang tak merata dan sentralisasi perekonomian di kota semakin memperparah arus urbaninsasi. Dampaknya, kehidupan kota menjadi sangat crowded yang dapat dipastikan tingkat entropi semakin meningkat pula. Hal ini menimbulkan banyak masalah sosial di perkotaan, termasuk masalah yang menimpa perempuan dan anak.
Berbicara tentang perempuan dan anak, terutama di kota besar, maka ada beberapa permasalahan yang kerap menimpa kaum hawa dan anak-anak. Pertama besarnya eksploitasi perempuan dan anak. Tingginya kebutuhan ekonomi, sementara lapangan pekerjaan semakin sedikit memaksa kaum perempuan dan anak turun tangan untuk mencari ‘penghidupan’. Berbagai cara dilakukan kaum hawa untuk mendapatkan ‘peseran’ uang. Mulai dari kerja kantoran, menjadi TKW, penjual asongan, penyapu jalan, bahkan menjadi supir pun dilakoni. Kini pekerjaan di luar yang bahkan meguras tenaga tak lagi miliknya kaum adam. Bahkan berbalik tak sedikit istri yang bekerja di luar, sementara sang suami mengasuh anak di rumah.
 Di lain sisi, perempuan memanfaatkan kemolekan wajah dan tubuhnya untuk meraup uang. Menjadi artis misalnya. Hampir semua iklan produk di TV maupun media cetak ‘memakai’ perempuan sebagai modelnya, sekalipun produk merupakan ‘santapan’nya kaum laki-laki. Dalam hal ini perempuan sebagai pemanis dan meninggikan daya tarik produk. Sebut saja produk otomotif. Meski peminatnya sebagian besar laki-laki, dapat dipastikan iklannya menggunakan jasa kemolekan perempuan. Bahkan tak hanya iklan di media, untuk menarik pembeli pengusaha memilih menggunakan jasa gadis-gadis cantik berpakaian seksi utnuk menjajakan produknya. Ya, SPG menjadi daya tarik tersendiri bagi pengusaha untuk menarik pembeli terhadap produknya. Ini dapat kita lihat fenomenanya berserakan di pusat-pusat perbelanjaan kota Bandung, juga di showroom-showroom. Tak lupa tak sedikit yang memilih meraup uang banyak dengan jalan tak baik dengan menjadi penipu dan PSK. Para PSK ini jumlahnya semakin lama semakin banyak, bahkan daerah prostitusi pun semakin menjamur. Kita dapat melihatnya sebagai sisi lain Kota Bandung di malam hari. Miris.
Di samping itu, kaum anak pun tak kalah kiprahnya mencari penghidupan. Mulai dari artis, pedagang asongan, pengamen, hingga pengemis. Mengandalkan rasa kasihan pada anak-anak sehingga mengharap iba dari manusia lain, anak-anak itu dieksplotasi oleh orang tua mereka. Mereka kehilangan waktu bermain, waktu belajar, bahkan tak sedikit yang putus sekolah karena ‘terpaksa’ harus bekerja.
Masalah lain yang menimpa perempuan dan anak sebagai dampak dari permasalahan ekonomi di kota besar adalah KDRT. Berdasarkan data yang dimiliki P2TP2A Jawa Barat kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kota Bandung cukup tinggi, hingga pertengahan tahun 2011 mencapai 15 kasus yang terlapor.  Karena himpitan ekonomi, emosi lebih mudah tak terkendali, dampaknya KDRT lebih banyak terjadi, dan yang menjadi korban dalam kasus KDRT sering kali adalah perempuan dan anak, meskipun dalam beberapa kasus laki-laki pun dapat menjadi korban KDRT.
Almira At-Thahirah (2006) menjelaskan bahwa sekitar 24 juta perempuan dari 217 juta penduduk Indonesia terutama di pedesaan mengakui pernah mengalami kekerasan dan yang terbesar adalah KDRT. Komnas perempuan pada tahun 2001 melakukan survei pada 14 daerah di Indonesia (Aceh, Palembang, Jambi, Bengkulu, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, NTT) menunjukkan bahwa kaum perempuan paling banyak mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh orang-orang terdekatnya serta tindak perkosaan di lingkungan komunitasnya sendiri. Selain daripada itu terdapat 60% kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orangtua mereka! (Seto Mulyadi, Komnas Anak).
Marianne James, Senior Research pada Australian Institute of Criminology (1994), menegaskan bahwa KDRT memiliki dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi masalah dan emosi. Sehingga jelaslah bahwa KDRT memiliki dampak negatif yang cukup besar tak hanya bagi perempuan tapi juga bagi anak.
Berkurangnya hak bermain anak menjadi permasalahan berikutnya hari ini terutama di kota besar seperti Bandung. Berkurangnya hak bermain anak ini, selain disebabkan oleh adanya eksploitasi anak dengan memaksa anak untuk bekerja seperti yang diungkapkan di atas, dapat juga disebabkan karena semakin berkurangnya area bermain anak, terutama area luar rumah. Lapangan dan taman bermain bebas bagi anak terutama di kota besar semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Jika sepuluh tahun kebelakang kita masih bisa merasakan bermain kejar-kejaran, layangan, petak umpet, dan main bola di lapangan, maka anak-anak hari ini lebih banyak bermain di depan laptop, main PS, dan main HP. Padahal usia anak adalah usia di mana psikomotor mereka berkembang. Hal ini menimbulkan efek kurang berkembangnya kecerdasan psikomotor bagi anak.
Itulah sejumput permasalahan perempuan dan anak yang terjadi hari ini. Maka, masih tak pedulikah kita akan kondisi ini?!  Bangkit perempuan Indonesia!

No comments:

Post a Comment