Oleh
Gia
Juniar Nur Wahidah
Tuntutan
kehidupan di kota besar yang begitu ketat kompetisinya, menuntut
manusia-manusia kota untuk berlomba satu sama lain untuk menghidupi dirinya.
Maka dalam hal ini kita akan berbicara tentang ekonomi. Perputaran uang yang
begitu cepat di kota besar membawa magnet tersendiri bagi sebagian masyarakat
pinggir kota, sehingga muncul dan semakin tinggilah arus urbanisasi. Ditambah
pula pembangunan yang tak merata dan sentralisasi perekonomian di kota semakin
memperparah arus urbaninsasi. Dampaknya, kehidupan kota menjadi sangat crowded
yang dapat dipastikan tingkat entropi semakin meningkat pula. Hal ini
menimbulkan banyak masalah sosial di perkotaan, termasuk masalah yang menimpa
perempuan dan anak.
Berbicara
tentang perempuan dan anak, terutama di kota besar, maka ada beberapa
permasalahan yang kerap menimpa kaum hawa dan anak-anak. Pertama besarnya
eksploitasi perempuan dan anak. Tingginya kebutuhan ekonomi, sementara lapangan
pekerjaan semakin sedikit memaksa kaum perempuan dan anak turun tangan untuk
mencari ‘penghidupan’. Berbagai cara dilakukan kaum hawa untuk mendapatkan
‘peseran’ uang. Mulai dari kerja kantoran, menjadi TKW, penjual asongan,
penyapu jalan, bahkan menjadi supir pun dilakoni. Kini pekerjaan di luar yang
bahkan meguras tenaga tak lagi miliknya kaum adam. Bahkan berbalik tak sedikit
istri yang bekerja di luar, sementara sang suami mengasuh anak di rumah.
Di lain sisi, perempuan memanfaatkan kemolekan
wajah dan tubuhnya untuk meraup uang. Menjadi artis misalnya. Hampir semua
iklan produk di TV maupun media cetak ‘memakai’ perempuan sebagai modelnya,
sekalipun produk merupakan ‘santapan’nya kaum laki-laki. Dalam hal ini
perempuan sebagai pemanis dan meninggikan daya tarik produk. Sebut saja produk
otomotif. Meski peminatnya sebagian besar laki-laki, dapat dipastikan iklannya
menggunakan jasa kemolekan perempuan. Bahkan tak hanya iklan di media, untuk
menarik pembeli pengusaha memilih menggunakan jasa gadis-gadis cantik
berpakaian seksi utnuk menjajakan produknya. Ya, SPG menjadi daya tarik
tersendiri bagi pengusaha untuk menarik pembeli terhadap produknya. Ini dapat
kita lihat fenomenanya berserakan di pusat-pusat perbelanjaan kota Bandung,
juga di showroom-showroom. Tak lupa tak sedikit yang memilih meraup uang banyak
dengan jalan tak baik dengan menjadi penipu dan PSK. Para PSK ini jumlahnya
semakin lama semakin banyak, bahkan daerah prostitusi pun semakin menjamur.
Kita dapat melihatnya sebagai sisi lain Kota Bandung di malam hari. Miris.
Di
samping itu, kaum anak pun tak kalah kiprahnya mencari penghidupan. Mulai dari
artis, pedagang asongan, pengamen, hingga pengemis. Mengandalkan rasa kasihan
pada anak-anak sehingga mengharap iba dari manusia lain, anak-anak itu
dieksplotasi oleh orang tua mereka. Mereka kehilangan waktu bermain, waktu
belajar, bahkan tak sedikit yang putus sekolah karena ‘terpaksa’ harus bekerja.
Masalah
lain yang menimpa perempuan dan anak sebagai dampak dari permasalahan ekonomi
di kota besar adalah KDRT. Berdasarkan data yang dimiliki P2TP2A Jawa Barat
kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kota Bandung cukup tinggi, hingga
pertengahan tahun 2011 mencapai 15 kasus yang terlapor. Karena himpitan ekonomi, emosi lebih mudah
tak terkendali, dampaknya KDRT lebih banyak terjadi, dan yang menjadi korban
dalam kasus KDRT sering kali adalah perempuan dan anak, meskipun dalam beberapa
kasus laki-laki pun dapat menjadi korban KDRT.
Almira
At-Thahirah (2006) menjelaskan bahwa sekitar 24 juta perempuan dari 217 juta
penduduk Indonesia terutama di pedesaan mengakui pernah mengalami kekerasan dan
yang terbesar adalah KDRT. Komnas perempuan pada tahun 2001 melakukan survei
pada 14 daerah di Indonesia (Aceh, Palembang, Jambi, Bengkulu, Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi
Utara, Sulawesi Selatan, NTT) menunjukkan bahwa kaum perempuan paling banyak
mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh orang-orang terdekatnya serta
tindak perkosaan di lingkungan komunitasnya sendiri. Selain daripada itu
terdapat 60% kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orangtua mereka! (Seto
Mulyadi, Komnas Anak).
Marianne
James, Senior Research pada Australian Institute of Criminology (1994), menegaskan
bahwa KDRT memiliki dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik
berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi
mengatasi masalah dan emosi. Sehingga jelaslah bahwa KDRT memiliki dampak
negatif yang cukup besar tak hanya bagi perempuan tapi juga bagi anak.
Berkurangnya
hak bermain anak menjadi permasalahan berikutnya hari ini terutama di kota
besar seperti Bandung. Berkurangnya hak bermain anak ini, selain disebabkan
oleh adanya eksploitasi anak dengan memaksa anak untuk bekerja seperti yang
diungkapkan di atas, dapat juga disebabkan karena semakin berkurangnya area
bermain anak, terutama area luar rumah. Lapangan dan taman bermain bebas bagi
anak terutama di kota besar semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Jika
sepuluh tahun kebelakang kita masih bisa merasakan bermain kejar-kejaran,
layangan, petak umpet, dan main bola di lapangan, maka anak-anak hari ini lebih
banyak bermain di depan laptop, main PS, dan main HP. Padahal usia anak adalah
usia di mana psikomotor mereka berkembang. Hal ini menimbulkan efek kurang
berkembangnya kecerdasan psikomotor bagi anak.
Itulah
sejumput permasalahan perempuan dan anak yang terjadi hari ini. Maka, masih tak
pedulikah kita akan kondisi ini?!
Bangkit perempuan Indonesia!
No comments:
Post a Comment