Wednesday, May 1, 2013

Membumikan Gerakan Intelektual KAMMI di Jawa Barat


Mengenal Gerakan Intelektual
Narasi sejarah kemanusiaan membuktikan peran intelektualitas dalam proses pembebasan umat manusia. Sejarah keemasan Islam pada kepemimpinan Harun al Rasyid memberikan narasi kemajuan masyarakat dalam proses intelektual, ekonomi, politik, dan peradaban yang berkontribusi besar dalam khazanah keilmuan Barat setelah ekspansi Mongolia, khususnya khazanah ilmu Eropa. Banyak sekali ilmuwan-ilmuwan yang menganggap bahwa khazanah intelektual Timur Tengah khususnya Islam memberikan pengaruh besar pada Renaisans dan Revolusi Industri di Eropa yang akhirnya bergerak mendunia.[1]
Proses intelektualitas sarjana-sarjana Barat berangkat dari kultur “komentar” di lingkungan filsfat Yunani Kuno. Arsip-arsip gerakan intelektual ini terangkum dalam buku-buku Socrates, Aristoteles, dan kawan-kawan, hingga bergerak pada filsafat Immanuel Kant dan Sang Emansipatoris Karl Marx. Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi juga memberikan sejarah perubahan bagi bangsanya dengan gerak-geraknya yang begitu bersahaja. Gerakan intelektual dilakukan Marx, Mandela, dan Gandhi melalui difusi di lingkungan klasnya. Marx memantapkan hati untuk hidup dengan buruh, Mandela dengan kaum Negro Afrika melalui Apartheid-nya, dan Gandhi dengan masyarakat lemah India. Gerakan-gerakan intelektual yang dilakukan pelopor-pelopor di atas memberikan tonggak pembebasan bagi klas-klas tertindas di Eropa dan memberikan kontribusi pada perubahan-perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pemikiran di setiap sudut dunia.[2]
Intelektual sendiri berdasarkan KBBI berarti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Sementara menurut versi Wikipedia, an intellectual is a person who primarily uses intelligence in either a professional or an individual capacity.
Intelektual versi Barat adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang mudah dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah. Dengan kata lain, intelektual adalah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis.[3]
Ali Syari’ati memiliki istilah unik memaknai intelektual versi di atas, yaitu rausansfekr. Dia adalah pemikir tercerahkan. Ia bukanlah seorang pemikir yang merenung seorang diri di perpustakaan atau peneliti di laboratorium dengan tanpa kepedulian sosial untuk melakukan sebuah perubahan. Yang dimaksud dengan pemikir tercerahkan menurut Ali Syari’ati adalah pemikir yang sekaligus mencerahkan umatnya, membimbingnya untuk meretas sejarah dalam sebuah rangkaian transformasi gerakan.[4]
Gerakan intelektual sendiri lahir bersamaan dengan diciptakannya manusia sebagai satu-satunya makhluk berakal dan Adam merupakan sosok intelektual pertama yang diciptakan.
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!". Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (Q.S. Al-Baqarah : 31-33)
Di indonesia gerakan intelektual yang dilakukan pemerintah belanda sebagai salah satu perwujudan politik etis, justru menjadi bumerang karena dari sanalah lahir tokoh-tokoh intelektual muda Indonesia. Soekarno, Hatta, dan Syahrir merupakan tiga orang tamatan sekolah ‘Barat’ yang memiliki kontribusi besar bagi terwujudnya proklamasi kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.
Profil intelektual Indonesia adalah profil sekuler akademis. Pengaruh ilmu pengetahuan juga terbentur pada sekat verbal mulut-mulut intelektual untuk difusi ide, wacana, melakukan perubahan, dan bersinergi dengan masyarakat. Agaknya dibutuhkan “adaptor” untuk merespon alienasi antara intelektual dan masyarakat dalam kajian struktural-fungsional antara kampus dan masyarakat. Berbeda dengan sejarahnya dahulu, gerakan intelektual kini bergerak melalui mulut-mulut di ruang sidang, rapat, majelis, hotel, dan lain-lain yang kesemuanya berembel-embel “rapat tertutup”.[5]
Mulut-mulut intelektual dalam proses pembangunan bangsa Indonesia telah ditantang Ridwan Saidi dalam buku Islam dan Moralitas Pembangunan (1984) dan Kuntowijoyo dalam buku Islam Sebagai Ilmu (2006). Keberpihakan Kuntowijoyo dan Ridwan Saidi muncul tidak sekedar tanpa sebab. Narasi sekulerisasi ilmu pengetahuan oleh intelektual Indonesia kini menjadi penyebab utama kemunculan ilmu-ilmu sosial profetik, progresif, transformatif, alternatif, dan lain-lain.[6]
Di KAMMI sendiri muncul istilah intelektual profetik—sebagai salah satu buah sekularisme ilmu pengetahuan di Indonesia—sebagai salah satu paradigma gerakan KAMMI.
a.       Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal
b.      Gerakan Intelektual Profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal
c.       Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.
d.      Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan pemikiran yang menjangkau realitas rakyat dan terlibat dalam penyelesaian masalah rakyat.[7]
Maka telah jelaslah intelektual versi KAMMI dan yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana membumikan paradigma intelektual profetik ini dikalangan para kader. Sehingga setiap kader dapat mengahayati dirinya sebagai seorang intelektual profetik yang dapat memaksimalkan segenap potensinya untuk menyelesaikan masalah rakyat.
Masifikasi Gerakan Intelektual KAMMI di Jawa Barat
Jika kita lihat, Jawa Barat sejak zaman pergerakan dulu memberikan kontribusi sebagai pusat intelektual. Di sana tempat berkumpulnya para intelektual muda Indonesia. M.Natsir dan Soekarno merupakan dua tokoh intelektual yang mengenyam bangku pendidikan di Jawa Barat. Sejak zaman kolonialisme, sudah terdapat cukup banyak lembaga pendidikan di Jawa Barat. Namun di satu sisi yang menjadi fenomena lain atas klaim Jwa Barat sebagia pusat intelektual adalah ternyata justru tokoh-tokoh luar Jawa Barat yang berhasil dilahirkan dari lembaga pendidikan yang ada. Tokoh Jawa Barat sendiri walaupun ada namun jumlahnya tak terlalu banyak.
Jika dikaitkan dengan kultur di Sunda, bisa jadi salah satu penyebab tak banyaknya lahir tokoh intelektual di Jawa Barat karena adanya budaya pamali. Budaya pamali ini cukup ampuh meredam keberanian perkembangan pemikiran terutama di kalangan anak muda. Budaya pamali ini pun semakin meneguhkan budaya feodalisme di masyarakat. Maka bisa jadi ini pula yang kemudian menahan kaum intelektual Jawa Barat untuk mengasah potensinya.
Budaya merupakan seuatu kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus. Maka untuk mengubah suatu budaya, maka yang harus dilakukan adalah membuat suatu kebiasaan lain yang ditanamkan untuk dilakukan terus menerus hingga membudaya. Lalu budaya apa yang harus dilakukan untuk kembali membumikan gerakan intelektual di Jawa Barat?? Ada tiga habits yang bisa digalakkan, yaitu membaca, menulis, dan berdiskusi.
Dengan membaca seseorang dapat belajar pada para tokoh, mengenali perkembangan zaman, fenomena dan permasalahan yang terjadi, dan berbagai hal lain. Sementara dengan menulis itu artinya ia mengeluarkan gagasannya sebagai tanggapan atas fenomena yang terjadi dan solusi atas permasalahan yang ada. Kemudian dengan berdiskusi itu artinya ada suatu tahap menguji kebenaran dan keyakinan atas gagasan yang kita miliki.
Maka dengan membudayakan membaca, menulis, dan berdiskusi, diharapkan para intelektual dapat benar-benar memberikan kontribusi nyata atas perbaikan bangsa. Menyambungkan ruang idealita dan realita.
Referensi
GBHO KAMMI, Hasil-hasil MUKTAMAR VII KAMMI di Banda Aceh, 13-18 Maret 2011,
Imam, Rijalul.(2013). “Profil Intelektual Profetik: Elaborasi Filosofis-Quranik Paradigma Gerakan KAMMI”.  Jurnal KAMMI Kultural. Tersedia [Online]: http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/21/ibhar-vol-1-profil-intelektual-profetik-elaborasi-filosofis-quranik-paradigma-gerakan-kammi.[26 April 2013].
Putra, Maulana Kurnia. (2011). “Narasi Sejarah Intelektual Mulut Indonesia”. Jurnal Online Sosiologi: Dialektika Edisi 07 Tahun 2011: ISSN 1858-3857.



[1] Maulana Kurnia Putra, “Narasi Sejarah Intelektual Mulut Indonesia”, Jurnal Online Sosiologi Dialektika Edisi 07 Tahun 2011, hlm. 1.
[2] Ibid., hlm. 1.
[3] Rijalul Imam, “Profil Intelektual Profetik: Elaborasi Filosofis-Quranik Paradigma Gerakan KAMMI”, Jurnal KAMMI Kultural, diakses dari http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/21/ibhar-vol-1-profil-intelektual-profetik-elaborasi-filosofis-quranik-paradigma-gerakan-kammi/, diakses pada tanggal 26 April 2013 pukul 07.24.
[4]  Ibid.
[5] Maulana Kurnia Putra, “Narasi Sejarah Intelektual Mulut Indonesia”, Jurnal Online Sosiologi Dialektika Edisi 07 Tahun 2011, hal. 2
[6] Ibid., hal. 2
[7] GBHO KAMMI, Hasil-hasil MUKTAMAR VII KAMMI di Banda Aceh, 13-18 Maret 2011, hal. 133.

No comments:

Post a Comment