Mengenal
Gerakan Intelektual
Narasi sejarah kemanusiaan
membuktikan peran intelektualitas dalam proses pembebasan umat manusia. Sejarah
keemasan Islam pada kepemimpinan Harun al Rasyid memberikan narasi kemajuan
masyarakat dalam proses intelektual, ekonomi, politik, dan peradaban yang
berkontribusi besar dalam khazanah keilmuan Barat setelah ekspansi Mongolia,
khususnya khazanah ilmu Eropa. Banyak sekali ilmuwan-ilmuwan yang menganggap
bahwa khazanah intelektual Timur Tengah khususnya Islam memberikan pengaruh
besar pada Renaisans dan Revolusi Industri di Eropa yang akhirnya bergerak
mendunia.[1]
Proses
intelektualitas sarjana-sarjana Barat berangkat dari kultur “komentar” di
lingkungan filsfat Yunani Kuno. Arsip-arsip gerakan intelektual ini terangkum
dalam buku-buku Socrates, Aristoteles, dan kawan-kawan, hingga bergerak pada
filsafat Immanuel Kant dan Sang Emansipatoris Karl Marx. Nelson Mandela dan
Mahatma Gandhi juga memberikan sejarah perubahan bagi bangsanya dengan
gerak-geraknya yang begitu bersahaja. Gerakan intelektual dilakukan Marx,
Mandela, dan Gandhi melalui difusi di lingkungan klasnya. Marx memantapkan hati
untuk hidup dengan buruh, Mandela dengan kaum Negro Afrika melalui
Apartheid-nya, dan Gandhi dengan masyarakat lemah India. Gerakan-gerakan
intelektual yang dilakukan pelopor-pelopor di atas memberikan tonggak
pembebasan bagi klas-klas tertindas di Eropa dan memberikan kontribusi pada
perubahan-perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pemikiran di setiap
sudut dunia.[2]
Intelektual
sendiri berdasarkan KBBI berarti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih
berdasarkan ilmu pengetahuan. Sementara menurut versi Wikipedia, an intellectual is a person who primarily
uses intelligence in either a professional or an individual capacity.
Intelektual versi Barat adalah kelompok
orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap
aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang mudah dipahami setiap orang,
menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah. Dengan kata lain,
intelektual adalah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, dan
cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis.[3]
Ali Syari’ati memiliki istilah unik memaknai
intelektual versi di atas, yaitu rausansfekr. Dia adalah pemikir
tercerahkan. Ia bukanlah seorang pemikir yang merenung seorang diri di
perpustakaan atau peneliti di laboratorium dengan tanpa kepedulian sosial untuk
melakukan sebuah perubahan. Yang dimaksud dengan pemikir tercerahkan menurut
Ali Syari’ati adalah pemikir yang sekaligus mencerahkan umatnya, membimbingnya
untuk meretas sejarah dalam sebuah rangkaian transformasi gerakan.[4]
Gerakan
intelektual sendiri lahir bersamaan dengan diciptakannya manusia sebagai
satu-satunya makhluk berakal dan Adam merupakan sosok intelektual pertama yang
diciptakan.
Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!". Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". Allah berfirman:
"Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka
setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman:
"Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan?" (Q.S. Al-Baqarah : 31-33)
Di
indonesia gerakan intelektual yang dilakukan pemerintah belanda sebagai salah satu
perwujudan politik etis, justru menjadi bumerang karena dari sanalah lahir tokoh-tokoh
intelektual muda Indonesia. Soekarno, Hatta, dan Syahrir merupakan tiga orang
tamatan sekolah ‘Barat’ yang memiliki kontribusi besar bagi terwujudnya
proklamasi kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.
Profil
intelektual Indonesia adalah profil sekuler akademis. Pengaruh ilmu pengetahuan
juga terbentur pada sekat verbal mulut-mulut intelektual untuk difusi ide,
wacana, melakukan perubahan, dan bersinergi dengan masyarakat. Agaknya
dibutuhkan “adaptor” untuk merespon alienasi antara intelektual dan masyarakat
dalam kajian struktural-fungsional antara kampus dan masyarakat. Berbeda dengan
sejarahnya dahulu, gerakan intelektual kini bergerak melalui mulut-mulut di
ruang sidang, rapat, majelis, hotel, dan lain-lain yang kesemuanya
berembel-embel “rapat tertutup”.[5]
Mulut-mulut
intelektual dalam proses pembangunan bangsa Indonesia telah ditantang Ridwan
Saidi dalam buku Islam dan Moralitas Pembangunan (1984) dan Kuntowijoyo
dalam buku Islam Sebagai Ilmu (2006). Keberpihakan Kuntowijoyo dan
Ridwan Saidi muncul tidak sekedar tanpa sebab. Narasi sekulerisasi ilmu
pengetahuan oleh intelektual Indonesia kini menjadi penyebab utama kemunculan
ilmu-ilmu sosial profetik, progresif, transformatif, alternatif, dan lain-lain.[6]
Di
KAMMI sendiri muncul istilah intelektual profetik—sebagai salah satu buah
sekularisme ilmu pengetahuan di Indonesia—sebagai salah satu paradigma gerakan
KAMMI.
a.
Gerakan Intelektual Profetik
adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar
akal
b.
Gerakan Intelektual Profetik
merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada
prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal
c.
Gerakan Intelektual Profetik
adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha
perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara
organik.
d. Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan pemikiran yang
menjangkau realitas rakyat dan terlibat dalam penyelesaian masalah rakyat.[7]
Maka telah jelaslah intelektual versi KAMMI dan yang harus
dilakukan saat ini adalah bagaimana membumikan paradigma intelektual profetik
ini dikalangan para kader. Sehingga setiap kader dapat mengahayati dirinya sebagai
seorang intelektual profetik yang dapat memaksimalkan segenap potensinya untuk
menyelesaikan masalah rakyat.
Masifikasi Gerakan
Intelektual KAMMI di Jawa Barat
Jika kita lihat, Jawa Barat sejak zaman pergerakan dulu memberikan
kontribusi sebagai pusat intelektual. Di sana tempat berkumpulnya para
intelektual muda Indonesia. M.Natsir dan Soekarno merupakan dua tokoh
intelektual yang mengenyam bangku pendidikan di Jawa Barat. Sejak zaman
kolonialisme, sudah terdapat cukup banyak lembaga pendidikan di Jawa Barat. Namun
di satu sisi yang menjadi fenomena lain atas klaim Jwa Barat sebagia pusat
intelektual adalah ternyata justru tokoh-tokoh luar Jawa Barat yang berhasil
dilahirkan dari lembaga pendidikan yang ada. Tokoh Jawa Barat sendiri walaupun
ada namun jumlahnya tak terlalu banyak.
Jika dikaitkan dengan kultur di Sunda, bisa jadi salah satu
penyebab tak banyaknya lahir tokoh intelektual di Jawa Barat karena adanya
budaya pamali. Budaya pamali ini cukup ampuh meredam
keberanian perkembangan pemikiran terutama di kalangan anak muda. Budaya pamali
ini pun semakin meneguhkan budaya feodalisme di masyarakat. Maka bisa jadi ini
pula yang kemudian menahan kaum intelektual Jawa Barat untuk mengasah
potensinya.
Budaya merupakan seuatu kebiasaan yang dilakukan secara terus
menerus. Maka untuk mengubah suatu budaya, maka yang harus dilakukan adalah
membuat suatu kebiasaan lain yang ditanamkan untuk dilakukan terus menerus
hingga membudaya. Lalu budaya apa yang harus dilakukan untuk kembali membumikan
gerakan intelektual di Jawa Barat?? Ada tiga habits yang bisa digalakkan, yaitu membaca, menulis, dan
berdiskusi.
Dengan membaca seseorang dapat belajar pada para tokoh, mengenali
perkembangan zaman, fenomena dan permasalahan yang terjadi, dan berbagai hal
lain. Sementara dengan menulis itu artinya ia mengeluarkan gagasannya sebagai
tanggapan atas fenomena yang terjadi dan solusi atas permasalahan yang ada.
Kemudian dengan berdiskusi itu artinya ada suatu tahap menguji kebenaran dan
keyakinan atas gagasan yang kita miliki.
Maka dengan membudayakan membaca, menulis, dan berdiskusi,
diharapkan para intelektual dapat benar-benar memberikan kontribusi nyata atas
perbaikan bangsa. Menyambungkan ruang idealita dan realita.
Referensi
GBHO
KAMMI, Hasil-hasil MUKTAMAR VII KAMMI di Banda Aceh, 13-18 Maret 2011,
Imam, Rijalul.(2013). “Profil Intelektual Profetik: Elaborasi
Filosofis-Quranik Paradigma Gerakan KAMMI”. Jurnal KAMMI Kultural. Tersedia [Online]:
http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/21/ibhar-vol-1-profil-intelektual-profetik-elaborasi-filosofis-quranik-paradigma-gerakan-kammi.[26 April 2013].
Putra, Maulana Kurnia. (2011). “Narasi Sejarah Intelektual Mulut Indonesia”.
Jurnal Online Sosiologi: Dialektika Edisi 07 Tahun 2011: ISSN 1858-3857.
[1] Maulana Kurnia Putra, “Narasi Sejarah Intelektual Mulut Indonesia”,
Jurnal Online Sosiologi Dialektika Edisi 07 Tahun 2011, hlm. 1.
[3] Rijalul
Imam, “Profil Intelektual Profetik: Elaborasi Filosofis-Quranik Paradigma
Gerakan KAMMI”, Jurnal KAMMI Kultural, diakses dari http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/21/ibhar-vol-1-profil-intelektual-profetik-elaborasi-filosofis-quranik-paradigma-gerakan-kammi/,
diakses pada tanggal 26
April 2013 pukul 07.24.
[5] Maulana Kurnia Putra, “Narasi Sejarah Intelektual Mulut Indonesia”,
Jurnal Online Sosiologi Dialektika Edisi 07 Tahun 2011, hal. 2
[7]
GBHO
KAMMI, Hasil-hasil MUKTAMAR VII KAMMI di Banda Aceh,
13-18 Maret 2011, hal. 133.
No comments:
Post a Comment