Perang
Asimetris
Oleh Gia Juniar Nur Wahidah
Mengkaji paparan menarik Prasetyo
Sunaryo di Dewan Riset Nasional pada tanggal 10 Juli 2008 dengan judul serupa.
Apa
itu perang asimetris?
Itu
yang pertama kali melintas dalam pikiran
saya ketika membaca judul file presentasi Prasetyo Sunaryo. Pertanyaan
berikutnya yang muncul adalah, jika ada perang asimetris maka ada pula perang
simetris, lalu apa perbedaan di antara keduanya?
Karena
didorong oleh rasa penasaran itulah maka saya mulai membaca slide-slide berikutnya.
Walaupun banyak sekali istilah yang tak saya pahami di sana, namun di sini saya
akan mencoba untuk membagikan apa yang saya dapatkan.
Perang
dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu perang simetris dan perang asimetris.
Perang simetris merupakan bentuk perang konvensional, perang seperti yang pada
umumnya kita pahami. Perang simetris atau perang konvensional umumnya terjadi
karena adanya pemaksaan kehendak yang tidak dapat diselesaikan dengan cara
damai atau diplomatik. Aktor dari perang jenis ini adalah negara. Sementara itu
perang asimetris merupakan perang yang penyebabnya berasal dari perebutan
wilayah kaya sumber daya alam atau aset strategis lainnya. Aktor dari perang
ini bisa negara atau pun non negara. Jika dulu kita mengetahui seringkali terjadi
jenis perang simetris, seperti Perang antara Romawi Barat dan Timur,Perang
Salib, perang di Vietnam, perang Jerman Barat-Jerman Timur, Perang Pasifik, Perang
Korea, dan banyak perang lainnya, maka hari ini jenis perang ke dua inilah yang
kerap kita jumpai.
Pada dasarnya perang
asimetris adalah perang antara dua pihak dengan kekuatan yang tidak seimbang
(David & Goliath) dengan pola yang tidak beraturan dan bersifat tidak konvensional.
Masing-masing pihak berusaha untuk mengembangkan taktik dan strategi untuk mengeksploitasi
kelemahan lawannya dalam mencapai kemenangan. Perang asimetris adalah suatu
model peperangan yang dikembangkan dari cara-cara berfikir yang tidak lazim,
dan diluar aturan-aturan peperangan yang berlaku, dengan spectrum perang yang
sangat luas, terbuka dan mencakup seluruh aspek-aspek kehidupan. Terminologi perang
asimetris, digunakan untuk membedakan dengan perang konvensional, dimana musuh
yang dihadapi jelas, aktornya negara, yang didukung oleh pasukan dengan aturan
yang jelas dan peralatan militer yang dibolehkan oleh konvensi internasional. (DRN,
Komtek Hankam, 2007)
Terjadinya
perubahan bentuk perang dari simetris ke asimetris terjadi karena perang dengan menggunakan senjata (hard power),
yang menggunakan ukuran penghancuran kekuatan militer lawan, sudah dianggap
tidak efektif. Maka digunakanlah cara baru dalam berperang yaitu menggunakan soft
power, antara lain : Cultural Warfare, Economic & Financial
Warfare dan Information Warfare yang berfungsi membangun suatu
persepsi tertentu yang diinginkan oleh lawan. Korporasi dan NGO
dapat merupakan bentuk tentara baru dalam perang asimetris (Kiki
Syahnakri, 2007).
Selama satu setengah abad terakhir ini, korporasi
telah berusaha dan mendapatkan hak untuk mengeksploitasi SDA yang ada di dunia
dan hamper diseluruh ranah usaha manusia. Dari sisi pandang korporasi, masih
ada satu hambatan besar yang masih menghalangi korporasi untuk megendalikan
semuanya yaitu yang dikenal “lingkungan/wilayah publik”. Pada dua dekade ini,
korporasi berusaha dengan gigih menghilangkan apa saja yang dianggap rintangan olehnya.
Melalui proses yang dikenal sebagai privatisasi, maka sebagian “wilayah publik”
telah berpindah tangan menjadi wilayah korporat. Dengan berjalannya waktu,
korporasi semakin mendikte keputusan yang seharusnya digariskan oleh pihak yang
seharusnya mengawasi mereka di pemerintahan dan telah mulai mengendalikan
bidang-bidang masyarakat yang sebelumnya melekat pada wilayah publik (res
publica). Artinya pemegang kekuasan/kendali di masyarakat secara de facto tidak tunggal lagi, seperti
pemerintah, tetapi sudah menjadi multi aktor (Joel Bakan, 2004). Inilah yang menyebabkan aktor pada
perang asimetris bias dari negara ataupun non negara.
Dari tabel di atas jelaslah bahwa hari ini kita
sedang menghadapi perang modern yang bertujuan untuk menghancurkan kekuatan
suatu bangsa dengan merusak nilai-nilai budaya, merusak moral sehingga
selanjutnya bangsa tersebut dalam kondisi “self-destruction”.
Perang modern di hari ini sudah jelas merupakan
perang asimetris dan kekuatan di kedua belah pihak tak seimbang. Satu pihak
kekuatannya menghaegemoni dan pihak lain tak berdaya. Indonesia hari ini—sadar
atau pun tidak—sedang terkepung dalam perang ini. Di satu sisi Indonesia
memiliki sumber daya alam yang melimpah yang merupakan magnet berbagai pihak
yang ingin menguasai pengeksploitasiannya. Di sisi lain Indonesia juga
merupakan Negara muslim terbesar di dunia, yang jika sumber daya manusianya
berkualitas, maka akan berpotensi besar memimpin dan menguasai dunia—suatu
kondisi yang tak pernah diinginkan oleh musuh-musuh Islam.
Mari kita tengok perkembangan ekonomi, tercatat bahwa
pada tahun 1967 nilai 1 US Dollar setara sekitar 90 Rupiah di Indonesia, dan
nilai 1 US Dollar setara sekitar 20 Bath di Thailand. Di tahun 2007 tercatat
nilai 1 US Dollar setara sekitar 9000 Rupiah di Indonesia, dan nilai 1 US
Dollar setara sekitar 40 Bath di Thailand. Dengan turunnya nilai rupiah sebesar sekitar
10.000 % dalam kurun waktu 40 tahun, sementara di Thailand, nilai baht hanya
turun sekitar 100%, maka bias diduga, bahwa di Indonesia telah terjadi proses
pemiskinan sistematik. Apakah keadaan tersebut bukan berasal dari sebuah produk
perang asimetri? (Bambang
Ismawan, 2008). Sebuah fakta tak terelakkan yang menunjukkan bahwa memang
Indonesia sedang dalam kemelut perang asimetris.
Lalu
bagaimana cara memengkan perang asimetris yang terwujud dalam modern ini?
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d : 11)
Jika kita lihat kembali tabel di atas, ada tiga
perang yang dikobarkan di perang modern ini, yaitu mind-war, knowledge-war, dan
values-war. Maka untuk memenangkan perang modern, kita harus menang dalam
ketiga perang tersebut.